Media Gathering PERBANAS: Memperkuat Ketahanan Domestik di Tengah Perlambatan Ekonomi Global
Usai pandemi, dunia mulai bergerak ke arah pemulihan. Baik itu dari pemulihan kesehatan, stabilitas sosial dan politik, hingga pemulihan ekonomi. Kendati demikian, masih banyak tantangan untuk pemulihan tersebut. Contohnya, perang Rusia dan Ukraina yang belum berakhir, perubahan cuaca ekstrem dengan adanya el nino, sampai serangan Israel terhadap Palestina yang semakin gencar.
Perhimpunan Bank-Bank Nasional (PERBANAS) meyakini industri perbankan Indonesia akan siap menghadapi kondisi perekonomian global yang serba tidak pasti, dengan ditopang oleh resiliensi di sisi likuiditas, pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang stabil, serta pengelolaan risiko yang prudent.
Di tengah perekonomian global yang melambat, Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17% pada tahun 2022 hingga 2023. Stabilitas kinerja sektor pertanian dan perbankan menjadi salah satu faktor penting.
“Pertumbuhan tersebut ditopang oleh pemulihan sektor manufaktur serta stabilitas kinerja sektor pertanian dan sektor perbankan,” ujar Ketua Umum PERBANAS kata Ketua Umum Perbanas Kartika Wirjoatmodjo. Tiko, sapaan Wamen BUMN itu, menyampaikan hal itu saat memberikan sambutan dalam Media Gathering PERBANAS; “Memperkuat ketahanan Domestik di Tengah Perlambatan Ekonomi Global” di Mason Pine Hotel, Padalarang, Bandung Barat, Kamis, 23 November 2023.
Dinamika ekonomi dan geopolitik global yang terjadi saat ini menyebabkan ketidakpastian laju ekonomi di masa mendatang. Berbagai tantangan tengah kita hadapi saat ini yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, seperti:
-
Pengetatan kebijakan moneter terus berlanjut sebagai respon terhadap inflasi;
-
Penyaluran kredit yang diperketat; serta
-
Meningkatnya tensi geopolitik yang terjadi akhir-akhir ini.
“Ketidakpastian ekonomi global juga tercermin dari adanya perbedaan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional yaitu The International Monetary Fund (IMF) dan World Bank,” kata Tiko.
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3% pada tahun 2023 dan 2,9% pada tahun 2024. Pasalnya, risiko ekonomi dan geopolitik masih akan berlanjut pada tahun 2024 dan akan lebih buruk dibandingkan tahun 2023 sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, Bank Dunia memperkirakan hal sebaliknya: PDB global akan lebih besar pada tahun 2024 (2,4%) dibandingkan pada tahun 2023 (2,1%). Pandangan positif terhadap perekonomian pada tahun 2024 ini sejalan dengan normalisasi suku bunga dan inflasi pada tahun depan.
“Kita harus tetap optimis karena di tengah isu perlambatan ekonomi global, Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonominya. Tercatat pada Q2-2023, pertumbuhan Indonesia mencapai 5,17%(YoY) yang ditopang oleh pemulihan sektor manufaktur serta stabilitas kinerja sektor pertanian dan sektor perbankan,” kata Tiko.
Dari sisi perekonomian dalam negeri, Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), laju pertumbuhan Indonesia mencapai 5,17% (y-o-y) pada triwulan II tahun 2023, didukung oleh pemulihan sektor manufaktur dan stabilnya kinerja sektor pertanian. Namun, nilai tukar Rupiah sedang terdepresiasi, yang dapat berdampak pada banyak sektor industri dan komersial karena kebijakan suku bunga utama Bank Sentral AS (Fed). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh kinerja sektor perbankan yang saat ini stabil meski terjadi krisis likuiditas global.
Pada semester II-2023, rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Indonesia terjaga pada level 27,6%, dan rasio kredit bermasalah (NPL) bruto turun menjadi 2,3%. Pinjaman meningkat sebesar 7,76% (year-on-year) dan terus mendukung kegiatan perekonomian.
Bank Indonesia memperkirakan penyaluran kredit perbankan nasional akan terus tumbuh positif pada tahun 2024, sekitar 8% hingga 11%. Jumlah ini kira-kira sejalan dengan target tahun ini sebesar 9% hingga 11%, namun batas bawahnya lebih rendah.
Pada saat yang sama, Indonesia sedang menghadapi tahun pemilu pada tahun 2024, yang diperkirakan akan mempengaruhi selera risiko investor dan pelaku ekonomi, karena mereka mencari kepastian mengenai hasil kampanye politik dan perubahan di masa depan. Beberapa investor dan pelaku ekonomi, terutama pada perusahaan yang sangat sensitif terhadap perubahan peraturan, cenderung mengurangi investasinya untuk membatasi risiko akibat ketidakpastian tahun politik. Namun, beberapa perusahaan mengakui bahwa mereka tidak terkena dampaknya dan dapat memanfaatkan peluang untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis mereka.