Strategi Bank Hadapi "Debitur Sontoloyo"

06 November 2023

Belakangan marak terdengar kasus debitur atau nasabah yang memperkarakan bank tempatnya meminjam uang ke aparat hukum. Bukannya beriktikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya, debitur sontoloyo/ debitur nakal ini justru malah menjadi menantang bank yang memberikan pinjaman tersebut untuk bertarung di meja hijau. 


Apa yang mesti dilakukan bank jika menghadapi “debitur sontoloyo”? 

Ketua Bidang Hukum dan ESG PERBANAS, Fransiska Oei, memberikan saran dan masukan yang disampaikan kepada PERBANASNews. Berikut petikannya: 

Debitur Sontoloyo

Ketika ada nasabah tidak memiliki iktikad baik untuk memenuhi kewajibannya dan bahkan malah memperkarakan pihak bank secara hukum, bagaimana PERBANAS melihat ini? 

Sebenarnya hal demikian bukanlah hal yang baru. Dari zaman dulu sudah ada nasabah yang iktikadnya kurang baik dan malah melaporkan kasusnya ke ranah hukum. Mungkin saat ini terlihat makin marak, karena sekarang era sosial media (sosmed), jadi semakin booming. Oleh karenanya, berita-berita yang demikian, yang tadinya ada namun tak terlihat, sekarang jadi kelihatan. 

Kemudian, memang tren digital dewasa ini selain membawa dampak positif, juga membawa risiko tersendiri. Dengan adanya fraud yang menggunakan sosial media, serta memancing orang untuk memberikan data dan lainnya, sehingga makin banyak kelihatannya. Tapi, sekali lagi, ini bukanlah hal yang baru. 

Apa yang seharusnya dilakukan bank ketika menghadapi kasus-kasus demikian? 

Pencegahan itu penting. Jadi, bagaimana kita selaku (pelaku) perbankan dapat melakukan pencegahan dari tahap awal sekali, yakni pengenalan nasabah. Nasabah ini siapa sih? Yang jadi masalah mungkin terkadang kita ingin cepat memberikan pelayanan yang baik. Namun, jika tidak mengindahkan kehati- hatian yang cukup, memang akan jadi berisiko. 

Lalu, lakukan analisis kredit terhadap nasabah. Misalnya, kalau dia ritel,  pendapatannya dari mana, apakah data yang diberikan sesuai dengan profil yang diberikan. Nah, kalau sudah dilakukan analisis secara baik, selanjutnya adalah soal dokumentasi. Dokumentasi kita itu juga harus cukup transparan, berimbang, tapi juga memerlukan proteksi. Maka dari itu, dibutuhkanlah kegiatan monitoring. Sehingga, kita bisa melihat kalau ada indikasi-indikasi yang kurang baik, kita bisa melakukan tindakan. Nah, kalau semua tahapan ini telah dilakukan, dan ternyata dibawa ke ranah hukum, ya kita harus lakukan sebaik-baiknya untuk mengikuti proses hukumnya itu.  

Menurut PERBANAS, apakah hukum positif di Indonesia sudah cukup memadai untuk memberikan perlindungan bagi pihak perbankan? 

Sebenarnya, perangkat hukum positif itu sudah cukup ada. saya bicara secara struktur itu sudah ada. Kita sudah punya pengadilan. Kita juga punya yang namanya Lembaga alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) yang khusus untuk jasa keuangan. 

Sebetulnya perangkat hukum positifnya sudah cukup lengkap. Ketika kasusnya ini kompleks, pertanyaannya adalah apakah yang menjadi bagian dari perangkat hukum itu cukup menguasai atau tidak? Itu juga menjadi satu bagian yang perlu kita lihat. 

Dari perangkat hukum positif yang ada, apa masukan Perbanas kepada pemerintah atau pihak terkait? 

Soal perangkat hukum memang sudah cukup komplet.Namun, ada satu hal yang terkadang membuat sebuah kasus jadi lama sekali proses penyelesaiannya. Kalau saya bandingkan dengan luar negeri, penyelesaian kasus melalui ranah hukum sangat cepat dan transparan. Di sini penyelesaian kasusnya cukup lama dan terkadang juga kurang transparan, kurang jelas. Ini membuat biaya di bank meningkat. 

Kalau ditanya, kenapa di Indonesia suku bunga bank mahal sekali dibandingkan dengan di luar negeri? Ini salah satu yang perlu dipertimbangkan. Karena kalau ada masalah hukum, lama sekali penyelesaiannya, serta tidak jelas hasilnya. Menurut kita, seharusnya ini sudah jelas, tapi hasilnya ternyata tidak sesuai seperti yang kita harapkan. Prosesnya masih belum transparan. 

Baca juga: Bagaimana Bank Harus Bersiap Diri untuk Penerapan ESG