Antara Literasi dan Regulasi: Dua Kunci Menghadapi Darurat Judi Digital
Di tengah lonjakan kasus dan maraknya pemberitaan tentang judi online, muncul kebutuhan mendesak untuk merumuskan pendekatan komprehensif yang tidak hanya menindak, tetapi juga mencegah. Policy paper PERBANAS menunjukkan bahwa dua strategi utama harus berjalan beriringan dalam menghadapi darurat judi digital di Indonesia: literasi dan regulasi.
Selama ini, narasi yang dominan dalam pemberantasan judi online lebih menekankan pada aspek penindakan hukum dan pemblokiran situs. Namun, data menunjukkan bahwa meski ribuan situs telah diblokir, muncul ribuan situs baru dengan nama berbeda dalam hitungan hari. Artinya, pendekatan berbasis represi tidak cukup. Judi digital adalah fenomena yang tumbuh di ruang sosial dan ekonomi masyarakat digital. Maka penyelesaiannya juga harus menyentuh akar masalahnya.
Literasi Digital dan Finansial: Perisai Pertama
Kecanduan judi online seringkali berakar pada rendahnya pemahaman individu terhadap manajemen keuangan pribadi, risiko digital, serta jebakan algoritma dan promosi daring. Anak muda, pelajar, bahkan pekerja kantoran menjadi sasaran empuk dari iklan judi terselubung yang menyasar lewat media sosial, game, dan grup percakapan.
Pendidikan literasi digital dan finansial menjadi perisai pertama yang harus diperkuat. Masyarakat perlu paham bahwa platform judi sengaja didesain untuk menimbulkan kecanduan, menyedot uang perlahan-lahan, dan menyamarkan kekalahan lewat ilusi kemenangan sesaat. Selain itu, penting untuk membekali publik dengan kemampuan mengidentifikasi tanda-tanda kecanduan dan tahu ke mana harus meminta bantuan.
Peran ini tidak hanya bisa dibebankan ke pemerintah. Institusi pendidikan, lembaga keuangan, organisasi masyarakat sipil, bahkan pelaku industri periklanan perlu terlibat aktif dalam membangun budaya digital yang sehat dan kritis. Literasi yang kuat akan menciptakan individu yang tahan terhadap bujukan algoritma dan tekanan sosial media.
Regulasi: Menutup Celah dan Menyempurnakan Sistem
Di sisi lain, regulasi tetap menjadi pilar penting. Namun, regulasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya sekadar larangan. Yang dibutuhkan adalah regulasi yang adaptif terhadap dinamika teknologi, mampu mengatur periklanan digital, integrasi data keuangan, serta pengawasan lintas sektor—dari perbankan hingga telekomunikasi.
Indonesia memerlukan mekanisme yang memungkinkan lembaga seperti OJK, BI, Kominfo, hingga PPATK berbagi data secara real-time untuk mendeteksi pola transaksi mencurigakan yang terkait judi online. Penguatan UU ITE dan peraturan turunan yang lebih spesifik terkait fintech dan transaksi digital juga menjadi keharusan.
Bahkan lebih jauh, diperlukan regulasi yang mendorong perusahaan platform untuk ikut bertanggung jawab. Algoritma media sosial, misalnya, bisa disesuaikan agar tidak menyebarluaskan konten promosi judi atau memblokir akun afiliasi. Tanpa tekanan regulatif, pelaku industri digital global tidak akan memiliki insentif untuk ikut menjaga ruang digital kita.
Menyatukan Dua Pilar
Literasi tanpa regulasi ibarat memberi pedang kepada seseorang tanpa perisai. Sebaliknya, regulasi tanpa literasi hanya akan membuat masyarakat selalu selangkah di belakang perkembangan teknologi. Keduanya harus berjalan berdampingan untuk menciptakan ekosistem digital yang aman, sehat, dan produktif.
Dengan pendekatan yang holistik, Indonesia tidak hanya bisa mengurangi kerugian akibat judi online, tetapi juga membangun fondasi masyarakat digital yang lebih tangguh dan sadar risiko. Dalam menghadapi darurat judi digital, literasi dan regulasi adalah dua sisi mata uang yang sama pentingnya—dan keduanya harus digerakkan sekarang juga.