Ketika Inflasi Rendah Bukan Kabar Baik: Tantangan Baru Dunia Usaha

10 September 2025

Inflasi sering dipandang sebagai indikator utama stabilitas ekonomi. Namun, inflasi yang terlalu rendah juga bisa menjadi sinyal perlambatan. Pada 2025, Indonesia mencatat tingkat inflasi yang sangat rendah, yaitu di kisaran 2,0–2,5%, menurut laporan PRIME 2025. Meskipun masih berada dalam target Bank Indonesia, angka ini mencerminkan melemahnya permintaan domestik.

Inflasi Rendah: Stabil, tapi Berisiko

Secara umum, inflasi rendah mendukung kestabilan harga dan daya beli. Namun, data menunjukkan bahwa kondisi ini bukan hasil dari kekuatan konsumsi, melainkan akibat lesunya permintaan masyarakat.

  • Penjualan ritel melambat pada kuartal pertama 2025.
  • Indeks Keyakinan Konsumen turun dari 127,7 (Desember 2024) menjadi 117,5 (Mei 2025).

Kondisi ini memperlihatkan bahwa konsumsi, khususnya dari kelas menengah ke bawah, belum sepenuhnya pulihpascapandemi dan masa transisi politik.

Precautionary Saving: Uang Mengendap, Konsumsi Menahan

Di sisi lain, kalangan menengah atas cenderung meningkatkan tabungan sebagai langkah antisipatif, akibat ketidakpastian ekonomi global, geopolitik, dan arah kebijakan dalam negeri. Akibatnya, perputaran uang di perekonomian melemah, dan ini berdampak langsung pada dunia usaha.

Dampaknya ke Dunia Usaha: Permintaan Lemah, Ekspansi Terhambat

Kondisi inflasi rendah menciptakan tantangan ganda bagi pelaku usaha:

  • Tekanan biaya produksi memang menurun, namun lemahnya permintaan membuat ekspansi tidak efisien.
  • Sektor perdagangan dan industri pengolahan mencatat pertumbuhan kredit yang melambat, mencerminkan sikap hati-hati dunia usaha dalam berekspansi.

Selain itu, kemampuan menaikkan harga sangat terbatas, karena konsumen semakin sensitif terhadap harga. Dalam kondisi normal, inflasi moderat memungkinkan kenaikan harga seiring peningkatan biaya dan kualitas. Namun kali ini, margin usaha justru tertekan karena ruang penyesuaian harga nyaris tidak ada.

Kebijakan Moneter: Ada Ruang, Tapi Perlu Kepercayaan

Inflasi rendah memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk melonggarkan suku bunga guna mendorong konsumsi dan ekspansi kredit. Namun, efektivitasnya bergantung pada kepercayaan pelaku ekonomi.

Tanpa keyakinan terhadap prospek ekonomi, suku bunga rendah tidak otomatis meningkatkan belanja atau pinjaman. Dana tambahan bisa saja disimpan atau dialihkan ke instrumen aman, alih-alih digunakan untuk konsumsi atau investasi.

Tantangan Struktural: Bukan Sekadar Siklus

Inflasi rendah kali ini bersifat struktural, bukan hanya dampak siklus jangka pendek. Oleh karena itu, pendekatannya harus menyasar akar masalah:

  • Ketimpangan daya beli
  • Minimnya jaminan sosial
  • Rendahnya insentif ekspansi bagi sektor produktif

Solusinya mencakup:

  • Stimulus fiskal terfokus
  • Penyederhanaan regulasi usaha
  • Insentif bagi inovasi ritel dan manufaktur
  • Pembiayaan inklusif dari sektor perbankan untuk mendukung transformasi digital dan keberlanjutan

Kesimpulan: Stabilitas Tidak Cukup, Perlu Dorongan Permintaan

PRIME 2025 menekankan bahwa inflasi rendah saat ini bukan sekadar indikator stabilitas, melainkan refleksi dari lemahnya fondasi permintaan domestik. Dunia usaha harus beradaptasi dengan strategi yang lebih efisien, inovatif, dan berbasis kebutuhan nyata konsumen.

Sementara itu, sinergi kebijakan moneter dan fiskal, disertai komunikasi yang membangun kepercayaan publik, menjadi kunci untuk mengembalikan ekonomi ke jalur pertumbuhan yang kuat, sehat, dan inklusif.