Update Ekonomi Q3 - 2024
Pada kuartal ketiga tahun 2024, ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan pertama kalinya di bawah 5% semenjak Q4-2021, yaitu 4,95% secara tahunan (yoy) dan 1,50% secara triwulanan (qtq). Angka ini lebih rendah dibandingkan Q2-2024, di mana pertumbuhan mencapai 5,05% (yoy) dan 3,79% (qtq). Perlambatan ini dipengaruhi oleh baik dari sisi domestik maupun global.
Dalam konteks kondisi dalam negeri, penurunan daya beli khususnya kelas menengah ke bawah perlu diwaspadai secara khusus. Penurunan ini tercermin dari berkurangnya masyarakat kelas menengah karena turun kelas ke level menuju menengah dari 23% total penduduk Indonesia di 2018 menjadi hanya 18,8% di 2023. Di sisi lain, kelas Menuju Menengah naik dari 49,6% ke 53,4% di periode yang sama. Tanda-tanda pelambatan konsumsi rumah tangga di kuartal ini masih terus terlihat, tercermin dari pertumbuhan kuartal ini (4,91%) yang lebih rendah dari kuartal sebelumnya (4,93% yoy) dan kuartal yang sama pada tahun lalu (5,05%).
Sumber: Badan Pusat Statistik (November 2024)
Penurunan konsumsi masyarakat ini akan terus memperlambat laju pertumbuhan, mengingat perannya sebagai penopang terbesar perekonomian nasional berkontribusi sebesar 53% terhadap PDB. Konsumsi hanya tumbuh sebesar 4,91% (yoy). Kenaikan didorong oleh konsumsi untuk restoran dan hotel. Konsumsi transportasi dan komunikasi juga meningkat. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan leisure di kalangan masyarakat.
Dari sisi sektoral, industri pengolahan masih menjadi kontributor terbesar terhadap PDB, menyumbang 19% dan tumbuh 4,7% (yoy). Pertumbuhan ini didorong oleh permintaan domestik yang kuat, terutama di sektor makanan dan minuman (tumbuh 5,8%) serta industri logam dasar (tumbuh 12,4%). Di tingkat regional, Maluku dan Papua mencatat pertumbuhan tertinggi, didorong oleh kebijakan hilirisasi sumber daya alam (SDA).
Dari sisi global, kondisi global yang masih tidak menentu masih terjadi dan berdampak ke Indonesia. Ketegangan geopolitik di beberapa wilayah dan perlambatan ekonomi Cina, yang berdampak negatif pada permintaan ekspor Indonesia. Tercermin dari harga komoditas unggulan nasional seperti bijih besi, batu bara, dan nikel mengalami penurunan sebesar 13,3%, 7,3%, dan 20,4% (yoy), sehingga kinerja perdagangan turut tertekan, tercermin dari kontribusi negatif ekspor bersih sebesar -0,08% pada PDB.
Di pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2024 mencapai 4,9%, lebih rendah dari Agustus 2023 yang sebesar 5,3%, mencerminkan perbaikan pasar tenaga kerja.Namun angka ini sedikit lebih tinggi dari Februari 2024 (4,8%) yang disebabkan oleh peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur, khususnya tekstil. Meski pengangguran terbuka menurun, proporsi pekerja penuh juga turun dari 68,92% pada Agustus 2023 menjadi 68,06% pada Agustus 2024, sementara tingkat setengah pengangguran meningkat dari 6,68% menjadi 8%. Kondisi ini menurunkan pendapatan rumah tangga yang dapat dibelanjakan, dapat menjelaskan dari tren pelambatan konsumsi rumah tangga di kuartal ini.
Sumber: Badan Pusat Statistik (November 2024)
Pelambatan pertumbuhan ekonomi juga dapat dijelaskan dengan menurunnya proporsi pekerja formal pada kelas menengah yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia.Semenjak terjadinya Covid-19, terjadi pergeseran dari pekerja formal ke informal.Tercatat, pada tahun 2019 pekerja formal mencapai 61,71% dari total tenaga kerja di kelas menengah, sedangkan proporsi pekerja informal sebesar 38,29%.Hanya saja, kondisi ketenagakerjaan kelas menengah memburuk sejak Covid-19 yang ditandakan oleh meningkatnya proporsi pekerja informal menjadi 40,64% pada tahun 2024.Selain itu, terjadi shifting lapangan usaha dimana pekerja kelas menengah pada sektor industri menurun, sedangkan pertanian meningkat.Hal ini menandakan bahwa terjadi penurunan kualitas pekerjaan kelas menengah Indonesia dimana sektor pertanian berperan sebagai bantalan krisis.
Sumber: Badan Pusat Statistik (Agustus 2024)